Wednesday, February 29, 2012

PESAN DARI SANG KEGELAPAN


Setelah sekian lama dapet ide buat nulis akhirnya gue dapet kesempatan buat menuangkan ide itu ke dalam untaian kalimat *eaaa. Dan seperti biasa, masalah gue sekarang adalah menemukan judul yang tepat. Judul yang sekarang mungkin *bukan mungkin sih, pasti tepatnya* terdengar aneh secara gue asal bikin, tapi ntar kalo nemu yang lebih bagus gue ganti :D Enjoy!
Sunyi. Hanya itu yang kurasakan. Aku tak tahu apakah kesendirian ini merupakan kebutuhan atau keinginanku sendiri. Aku berada jauh dari jiwa dan raga lain. Hanya ada kehampaan dalam genggamanku. Diriku tak lagi mengenal perdebatan dan konflik. Ya, aku tahu. Tak seharusnya aku berada disini. Namun aku merasa aman, nyaman.
Kini yang melayang di benakku hanyalah rumah. Tempat dimana seharusnya aku menjalani hidup. Tempat dimana seharusnya aku menuai mimpi dan harapan.
Tunggu… harapan? Aku bahkan tak ingat kapan terakhir aku memilikinya. Yang aku ingat hanyalah pukulan dan tuntutan. Ya, hidup itu keras. Manusia menaruh begitu banyak harapan kepada sesamanya, tetapi kebanyakan dari mereka tak pernah sempat menuai harapan sendiri. Waktu telah bergulir, tetapi aku tak pernah menuai harapanku. Tak pernah sempat.
Itulah alasan akan keberadaanku di sini. Lelah rasanya hidup dalam kebersamaan. Percuma rasanya bagi sebatang bunga untuk tumbuh di ladang gandum. Mereka hanya mengingini gandum. Bunga itu akan dipotong, dianggap sebagai pengganggu. Dianggap tak berguna.
Kini aku berada dalam kehampaan yang terasa aman dan nyaman. Aku bebas. Ya, aku bebas.
“Sedang apa kamu?” Terdengar sebuah suara dari dekat. Aku menoleh. Hanya ada kegelapan semata.
“Aku? Aku sedang menjalani hidup.” Jawabku.
“Bagaimana kamu bisa hidup jika hanya dalam hidupmu hanya ada kamu seorang? Hidup akan bersemi jika kamu menanamkannya di dalam sekelompok individu lain. Hidup akan berjalan jika kamu menghidup udara yang juga dihirup orang lain.”
“Ya, dan kemudian aku akan disingkirkan. Aku dianggap sebagai parasit. Ibarat sebuah lukisan, aku adalah suatu kesalahan yang dianggap mengganggu.”
“Bagaimana kamu bisa tahu kamu adalah suatu kesalahan? Bukannya semuanya itu merupakan kesalahan yang dikumpulkan agar menjadi sesuatu yang indah? Untuk menjadi suatu berkat dan karunia?”
“Lihatlah ini!” Aku menunjuk ke arah depan. Suatu gambar pun muncul dalam kesamaran. “Merah yang mereka kenakan. Merah yang mereka butuhkan. Merah megah yang mereka inginkan. Dan aku? Aku tak punya merah. Aku lebih tak punya lagi merah megah. Aku memiliki biru, tapi mereka tak mengkehendakinya. Aku menerima tatapan-tatapan dengki sebagai hadiah.”
“Merah yang mereka butuhkan, merah megah yang mereka ingini. Tetapi mereka lupa, merah tak akan memiliki arti tanpa biru.”
 “Lalu mengapa mereka menyingkirkanku?” Kukepalkan tanganku. Amarah menyelimutiku.
“Sebab mereka tak bisa menggali. Mereka hanya tahu cara menggunakan mata mereka. Mereka lupa bahwa mereka punya tangan untuk menggali. Selama ini mereka hanya melihat hamparan bunga, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dibawah sana ada berlian. Yang selama ini mereka anggap sebagai batu-batu tak berguna, adalah berlian.
“Dan kau, kau adalah berlian itu. Bukalah kuburmu. Temukanlah cahaya. Hadapilah udara yang panas itu. Pancarkan sinarmu. Mereka akan melihatmu. Dan kemudian, mereka akan menggali. Mereka akan menemukanmu dan berlian-berlian lainnya.”
Aku menghela napas dan memejamkan mata. Suara itu terdiam lama, dan kemudan terbenam oleh suara-suara lain. Terdengar potongan-potongan pembicaraan dari kejauhan. Terdengar suara hentakan kaki. Terdengar tawa dan tangisan. Kubuka mataku kembali.
Aku membisikkan pesanku pada sang mentari di atasku, “Aku pulang.”

No comments:

Post a Comment