Wednesday, July 19, 2017

19072017

Saya mau cerita sedikit tentang apa yang terjadi pada saya beberapa minggu belakangan ini. Do bear in mind that this post will be rather somber, so if you don't want to end your day with a bad mood, you might as well get out of this page

Saya sadar betul sejak lama kalau saya memang cenderung mengalami depresi. Karena dari sekian tahun yang lalu memang sudah punya kecenderungan itu. Tapi saya nggak nyangka makin ke sini malah makin parah. Apalagi di masa-masa genting kayak gini; di saat saya justru harus kuat mental dan fisik menghadapi masa-masa tahun terakhir di perkuliahan dan dunia pekerjaan setelahnya. 

Sudah pada nonton 13 Reasons Why? Saya sih sudah. Lalu saya lihat reaksi-reaksi yang beredar di internet. Banyak yang bilang Hannah Baker itu bodoh. Banyak yang menyalahkan si Hannah. Tapi, meskipun hidup saya nggak setragis dia dan thank God saya masih punya teman-teman dan saudara yang luar biasa suportif, saya tahu persis apa yang dia alami. Karena, meskipun sekali lagi hidup saya tidak setragis Hannah, saya pun pernah jadi korban bullying. Di rumah pun sama aja, bukannya membaik malah memperparah keadaan. Kemudian, tahun-tahun berlalu. And here I am at my last year in college

Meskipun sentimen dengan kampus saya saat ini, puji syukur saya ketemu teman-teman yang suportif dan juga dosen-dosen yang pengertian. Sampai sejauh ini pun kuliah adalah masa-masa yang paling indah buat saya (kecuali tahun terakhir. Fuck that shit). Kalau boleh memutar waktu, rasanya pengen kembali ke tahun awal perkuliahan dan kembali menjadi remaja ngehe yang belum menanggung beban kehidupan. Karena pada saat itu saya masih dikelilingi oleh teman-teman saya dan trauma masa lalu yang tertimbun lama dalam benak belum muncul kembali ke permukaan. 

Belakangan, mau nggak mau saya harus berhadapan kembali sama memori traumatis yang menjadi mimpi buruk saya semasa kecil. Itu, ditambah berbagai masalah lainnya seperti kendala-kendala pelaksanaan tugas akhir yang bikin saya harus jambak rambut berkali-kali, kehidupan dalam rumah, masalah fisik, dan lain sebagainya. Rasanya bagaikan ada banyak peluru yang mengelilingi kepala saya saat ini. Terus gimana? Ya, saya mental breakdown. Se down-downnya. Dan yang memperparah keadaan, saya tengah hidup sendirian di kota. Mau tak mau harus bisa mengandalkan diri sendiri. Tapi diri sendiri aja lagi lemah lunglai begini, piye??

Ah nggak enak banget lah rasanya. I wouldn't wish this to anybody. Saya tidur dan bangun dengan rasa cemas yang makin hari makin memuncak. Otomatis kebangun-bangun dengan berbagai pemikirian dan kekhawatiran. Lalu saya paksain diri datang ke kantor tempat saya menjalani penelitian tugas akhir. Karena nggak bisa kerja maksimal, hasilnya jelek. Hasil jelek, boss kecewa. Boss kecewa, tugas akhir saya terhambat dan keluarga pun turut kecewa. Ini sekali lagi, ditambah dengan masalah-masalah lain seperti trauma masa lalu, masalah dalam rumah, dan juga masalah fisik. Rasanya kayak lagi buka lemari dan semua isinya langsung jatuh berhamburan menimpa saya. Saya mau ngomong ke orang lain juga, mereka sudah punya kesibukan masing-masing. Saya bukan tipe yang suka ngerepotin orang lain. 

Lama-lama, saya jadi mati rasa. Nggak ada hasrat buat menjalani kehidupan. Bangun dari tempat tidur dan keluar kamar kos aja susah setengah mati. Terus saya jadi benci diri sendiri. Makin lama makin parah. Dan karena kebencian itu, saya mulai melukai diri sendiri. Dari yang nggak mau makan meskipun kelaparan, sekarang jadi main iris-irisan. Anehnya, melukai diri sendiri membuat saya merasa membaik. Lama-kelamaan jadi ketagihan. Seakan ada rasa ketenangan setiap kali darah mengucur keluar. Sekarang tangan kanan saya penuh bekas luka. 

Biarkan saya membuat suatu pengakuan di sini. Kalau kalian melihat InstaStory saya belakangan, tissue berlumuran darah itu memang bekas sayatan. Bukan karena mimisan, bukan karena jatuh. 

Saya sih, nggak mau hidup saya berakhir kayak Hannah Baker. Tapi saya ingin orang lain mengerti, bahwa bagi kami yang depresi berat, we have no choice but to take it all out on ourselves. Sehingga berujung menjadi self-harm. Saya melakukan ini bukan karena haus perhatian, tapi karena memang saya sudah berada di ujung tanduk dan nggak punya pelampiasan lain. And guess what? It works, at least for me. Bukan berarti saya menyetujui tindakan self-harm ya. If you have this tendency, please seek help as soon as possible. Selagi ada orang yang bisa kamu ajak bicara. Saya memang nggak punya pilihan lain selain berdiri dengan kaki sendiri untuk saat ini, ya mudah-mudahan aja kuat sampai akhir. Mungkinkah ini yang dinamakan quarter life crisis? Akankah ini berakhir? Who knows. Kita lihat saja apa yang akan terjadi di masa mendatang. 

Sunday, April 9, 2017

Story Of My Life

Sudah saatnya saya mengaku pada diri sendiri bahwa saya juga makhluk emosional yang bisa tersakiti dan bisa menjadi rapuh. Selama ini saya terus berbohong pada diri sendiri, bahwa kondisi yang saya alami bersifat sementara dan saya akan membaik dengan sendirinya. Ternyata yang saya pikirkan selama ini hanyalah kebohongan belaka dan masalahnya justru semakin menjadi. Di sini saya tidak bermaksud mengindahkan dan me-romantis-kan masalah psikis, tapi sudah saatnya kita menghilangkan stigma "kontroversial" yang melekat dengan begitu erat pada topik-topik terkait gangguan mental. 
Bila dilihat dari segi finansial, saya bukan orang yang berada tapi serba berkecukupan. Saya tidak pernah mengalami bagaimana rasanya tidur dalam kondisi kelaparan atau tanpa ranjang, jadi kurang adil rasanya bila saya menuduh kondisi finansial sebagai faktor dari masalah psikis yang saya alami. Tapi, masa kecil saya dilewati tanpa dukungan emosional. Selama bertahun-tahun lamanya saya disakiti tanpa tahu harus berlindung pada siapa. Saya disiksa oleh orang berengsek tidak tahu terima kasih yang tengah menumpang di rumah, di sekolah saya dibully habis2an dan tidak memiliki teman. Saya pernah diancam diusir. Saya pernah nyaris kabur dari rumah. Terdengar klasik memang, tapi dampaknya bertahan selama bertahun-tahun sekalipun hidup terasa jauh membaik dari sebelumnya. Pengalaman kelam itu membuat saya harus mengalami berbagai episode dimana saya benar-benar terjatuh dan frustrasi dan lelah akan semuanya. 
Saya rasa cukup manusiawi untuk tidak memaafkan orang yang telah mengubah hidup saya menjadi mimpi buruk selama 10 tahun lamanya. Maaf, saya bukan Yesus yang Maha Pengampun. Dalam kehidupan ini, saya bukan protagonis yang suci bak peri seperti yang digambarkan berbagai kisah fiksi. Jika saya tersakiti, saya tidak akan segan untuk menyerang balik. Saya menyesal tidak memegang prinsip ini pada masa-masa itu karena memang saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Percuma juga diceramahi dengan berbagai kutipan ayat suci, saya sudah nggak percaya dengan yang begituan. Pencarian spiritual seperti itu justru membuat saya semakin terpuruk dan depresi.
Saya masih menyimpan dendam dan luka yang mendalam yang berujung pada kerusakan sirkuit otak saya. Ah, ternyata waktu tidak bisa menyembuhkan luka batin. Alih-alih merasa membaik, saya malah merasa semakin terluka dan marah atas apa yang terjadi. Saya melampiaskan rasa sakit itu dengan menyakiti dan membenci diri sendiri dengan sangat mendalam. Saya pernah membiarkan diri saya kelaparan hingga rasanya seperti ada yang merobek perut saya. Saya pernah mencoba mengonsumsi obat secara berlebihan. Jauh lebih baik rasanya menanggung rasa sakit fisik ketimbang psikis. Pernah juga saya melampiaskan amarah dan emosi saya yang terpendam dengan membanting dan merusak barang-barang dalam jangkauan. Saya menjauh dari kawan-kawan yang peduli dengan setulusnya dan mungkin telah menyakiti perasaan mereka juga secara tidak sengaja. Bagi mereka yang tidak tahu bagaimana rasanya terjatuh dan tejebak dalam lingkaran setan ini, mungkin hal ini terdengar konyol dan berlebihan. Tapi percayalah, dalam kondisi seperti ini, sungguh sulit rasanya untuk berpikir secara rasional. 
Silahkan anggap postingan ini sebagai bentuk untuk "mencari perhatian". Ya mungkin memang itu yang saya lakukan. Seharusnya kita ingat bahwa ada banyak nyawa yang tidak terselamatkan karena dianggap "attention-seeking". Sepertinya dalam era persaingan global yang semakin sengit, kita semakin melupakan jati diri kita yang sebenarnya, bahwa kita adalah makhluk emosional dan sosial yang sepatutnya bisa saling membantu dan membangkitkan.