Friday, August 12, 2016

THE ART OF INTIMACY



Karena isu yang saya bahas di sini sangat berkaitan erat dengan budaya Indonesia, kali ini saya memutuskan untuk menulis dalam bahasa ibu saja (walaupun agak risih, karena nggak terbiasa hehe). 

Dari kecil zaman playgroup TK dulu image "the artistic one" udah nempel banget sama saya. Ada kertas kosong di depan mata, langsung dicoret-coret. Papan hasil karya murid 70% keisi sama hasil coretan saya. Awalnya gambarnya polos-polos lucu ala anak-anak, yang matanya cuma titik dan jarinya nggak karuan kayak snack "cheetos", lama-lama mulai berevolusi jadi gambar tipikal anak SD yang cartoonish banget. Pas SMA, mulai deh nyobain gambar realistik, meskipun nggak berhasil dan hasilnya tetep cartoonish, hehe. Tapi mulai keliatan kayak manusia pada umumnya sih.

Ketika kuliah, saya mulai berani 'taking it to the next level'. Saya memutuskan untuk menjadi orang yang frontal karena pada dasarnya saya emang nggak suka main 'kode-kodean', dan hal ini juga saya aplikasikan pada karya-karya saya. Saya mulai mencoba menggambar area intim wanita. Saya ingat betul gambar 'vulgar' itu saya buat di kelas, waktu jam istirahat. Karena terbiasa hidup di lingkungan yang cukup konservatif, saya udah siap mental sama kritikan-kritikan pedas. Eh tapi teman-teman saya malah nyeletuk dengan santai "Ih kok lucu sih. Hehe." Saya senyumin aja, emang gemes sih. Who doesn't like boobs?? 

Lama-lama, menggambar wanita telanjang mulai jadi kebiasaan. Dan reaksi teman-teman saya pun tetap sama; diketawain, diskusi tentang ukuran payudara (menjelaskan ukuran BH ke cowok), dikasih saran supaya ceweknya keliatan lebih cantik. Hingga suatu saat, salah seorang teman saya mulai bertanya dengan nada yang serius "why do you like drawing boobs? is there any particular reason behind this?"

Dan ini bukan pertanyaan yang pertama dan yang terakhir. Udah beberapa kali saya dapet pertanyaan yang sama dari orang yang berbeda-beda. Waktu itu saya masih males ngasih penjelasan, takut dikritik, dicekokin ayat-ayat religi, dan sebagainya. Jadi jawaban saya selalu "Lucu aja, bulet gitu." Sesimpel itu, supaya mereka cuma bisa ketawa dan nggak nanya-nanya lebih banyak lagi.

Tapi lama kelamaan, saya mulai capek main petak umpet sama budaya Indonesia yang konservatif. Saya capek merasa takut sama kritikan, apalagi yang bawa-bawa agama segala. Kalo saya sembunyi terus, kapan negara ini bisa berubah? Kapan negara ini bisa dengerin suara anak muda macem saya? Siapa tahu, gagasan saya memang bisa membawa perubahan. Nggak usah dalam skala besar, dalam lingkungan sekitar aja udah cukup bagus. 

Sebenarnya, tiap oretan bernada satir yang saya paparkan di jejaring sosial punya makna tersendiri. Kadang saya tulis di kolom deskripsi, kadang saya biarkan kosong biar yang lihat bisa menerka sendiri. Dalam kasus 'menggambar daerah intim wanita', maksud saya sebenarnya cukup simpel: untuk menyenikan keindahan tubuh manusia. The human body itself is a piece of art dan saya selalu memegang prinsip itu ketika berkarya. Payudara itu indah, dan pemiliknya punya hak untuk menikmati bagian pada dirinya yang sudah dianugerahi oleh alam semesta. 

Dalam lingkungan yang konservatif seperti negara kita, diskrimnasi terhadap kaum wanita sudah menjadi suatu kebiasaan. Memang, wanita Indonesia memiliki hak untuk meraih gelar pendidikan, bekerja, menunjang karir, berkarya, menyuarakan opininya. Saya akui kita sangat beruntung memiliki hak-hak ini karena di belahan dunia sana, wanita bahkan tidak boleh bersekolah. Tapi apakah kita sudah setara dengan kaum pria dari segi budaya? Semua perempuan yang tinggal di sini pasti setuju bahwa dirinya tidak lagi asing dengan pemikiran bahwa seks sebelum nikah adalah hal yang tabu, keperawanan harus dijaga hingga pernikahan, wanita harus menikah dan memiliki anak, perempuan nggak perlu belajar susah-payah karena toh ujung-ujungnya kerja di dapur, aurat harus ditutupi biar nggak mengundang mata-mata nakal, dan lain sebagainya. Karena sudah dididik dari kecil untuk menjadi makhluk yang anggun dan 'submissive' terutama terhadap kaum pria, prinsip ini sudah mengakar dalam diri kami. 

Ada suatu kejadian ketika saya masih bersekolah, beberapa sih sebenarnya. Yang pertama, ada kabar bahwa salah seorang adik kelas saya kepergok berhubungan intim dengan karyawan pria. Teman-teman di kelasnya mulai mengasingkan dia, dan gosip ini pun tersebar di komunitas ibu-ibu. Dulu, saya tinggal di kota yang sangat kecil sehingga semua orang bisa saling kenal. Bayangkan apa yang dialami anak itu, padahal kabar itu belum tentu benar. Parahnya, dulu saya ikutan percaya begitu saja dan menganggap bahwa anak itu sudah menghancurkan masa depannya, karena saya telah dididik bahwa seks sebelum menikah adalah hal yang tabu dan tidak patut dilakukan bagi kaum wanita. Bagaimana dengan si pria? Masih bekerja dengan tenang, karena concern masyarakat dalam berita ini dibebankan ke si perempuan, bukan si pria. 

Yang kedua, salah seorang teman main saya mengaku bahwa dia mencoba 'masturbasi' dan dia menikmatinya, namun setelah itu dia merasa bersalah dan takut berdosa. Dia takut keperawanannya hilang karena telah melakukan masturbasi, dan terlebih lagi, dia takut karena dia menikmatinya. Sementara, di kelas saya, adalah hal yang biasa bagi laki-laki untuk berkumpul dan membahas 'film biru' yang mereka tonton, dan yang cewek-cewek ikut mendengarkan sambil ketawa-ketawa santai karena hal ini sudah sangat wajar bagi kami. Di sela kelas biologi, teman laki saya bahkan menjelaskan dengan terang-terangan bahwa laki-laki perlu mengeluarkan 'itu' setidaknya sekali seminggu, dan kami yang perempuan menanggapinya dengan manggut-manggut penuh pengertian. 

Dari kedua kasus itu, jelas bahwa ada ketidakadilan dari kedua belah pihak semata-mata karena budaya kami telah mengajarkan bahwa wanita tidak seharusnya menikmati seksualitasnya dengan cara yang subtle, sementara seks dianggap sebagai 'prestasi', 'keperjakaan', 'sesuatu yang gagah' bagi kaum pria. Pernahkah kamu marah ketika mendengar istilah diperkosa diganti menjadi 'digagahi'? Saya sangat marah, karena tidak ada yang gagah dalam pemerkosaan. Selain itu, istilah ini seolah-olah membenarkan tindakan pemerkosaan. Kesannya kayak 'si pemerkosanya kuat dan jantan sekali', 'si korban seharusnya bersyukur karena dengan 'digagahi' (i cringe so hard writing this) berarti tubuhnya seksi' etc, etc, etc. 

Admit it. Budaya ini ditanamkan karena dari dulu wanita dipandang sebagai 'sex object', properti masyarakat, boneka suami. Cara berpakaian diatur, cara duduk diatur, cara berbahasa diatur, cara bersikap diatur. Lalu, kapan kami bisa menikmati diri kami sendiri? Kapan kami bisa mengapresiasi diri kami sendiri, mengekspresikan diri kami sendiri, dan yang paling penting, menjadi diri sendiri? Kapankah label 'sex object' ini bisa lepas dari kami, dan kami bisa menjadi pribadi yang terdidik dan kuat? Kapankah orang melihat gelar maupun prestasi kami ketimbang 'udah ditidurin sama berapa laki', 'masih perawan apa belum', 'kapan nikah', 'kapan punya anak'?

Jangankan hal-hal yang berbau seksual deh. Saya udah beberapa kali dikritik karena suka musik metal dan rock. Saya fans berat Dream Theater, Led Zeppelin, dan Jimi Hendrix. Terus katanya, lagu-lagu mereka nggak 'girly', jadi nggak cocok sama saya yang kebetulan terlahir sebagai wanita. Oke, agak out of topic, tapi masih agak nyambung kan? Kamu nangkep kan maksud saya di sini? 

Seks tidak pernah setara dengan prestasi. Wanita yang sexually active masih bisa meraih gelar Ph.D, menjadi aktivis, menjadi penulis, menjadi olahragawan, menjadi politikus, apapun yang dia impikan. Kehidupan seksualnya adalah urusan dia pribadi, bukan urusan masyarakat. Memangnya situ siapa, ngatur-ngatur hidup orang? Hhh, tipikal budaya Indo (terus kesel sendiri). 

Gambar wanita telanjang menyuarakan hak wanita untuk menikmati seksualitasnya sembari dia membawa perubahan positif pada masyarakat maupun pada lingkungannya sendiri, baik itu dari jenjang pendidikannya, kemampuannya menciptakan karya seni, maupun kemampuannya menjadi pemimpin. Judul dari 'quick sketch' saya di atas adalah 'Admiring Oneself', atau menikmati diri sendiri. Adalah seorang wanita yang memotret dirinya yang telanjang dada sambil tersenyum karena dirinya indah, dirinya merupakan mahakarya dari semesta.