Di
sela-sela istirahat yang lumayan panjang, saya memutuskan untuk mampir ke
ruangan seorang guru. Saat itu, siswa lain mencari Tuhan dengan cara mereka
masing-masing; doa syafaat, shalat, bertapa. Saya pribadi yakin bahwa cara
mereka adalah beberapa dari banyak jalan untuk bertemu Tuhan yang sama, dan
saya punya cara sendiri; cara yang hanya bisa dimengerti oleh beberapa,
termasuk guru saya.
Seakan
sudah menyatu dengan raut wajahnya, beliau tersenyum begitu melihat kedatangan
saya. Saya selalu disambut dengan pertanyaan yang terdengar sederhana, namun
untuk menjawabnya butuh pemikiran yang dalam. Hari itu, pertanyaan beliau
adalah: “surga itu seperti apa?”
Dengan
mata yang terpejam, saya merasakan kehadiran gerbang emas paling besar yang
pernah ada, yang membawa saya masuk ke kota terindah dengan segala ukiran emas,
perak, dan batu permata berkilauan. Dedaunan hijau nan segar berjatuhan
mengelus helaian rambut saya, beberapa hanyut dalam genangan danau yang disebut-sebut
malaikat sebagai ‘cermin peri’ karena airnya yang begitu bening. Saya
membayangkan surga sebagai kota peristirahatan yang tidak akan pernah bisa
dilukiskan pelukis paling handal pun.
Beliau
mengangguk seraya tertawa. “Yang saya bayangkan tidak seperti itu,” katanya,
“tapi intinya sama.
“Keindahannya
tidak bisa digambarkan dan dideskripsikan siapa pun, karena indah itu
subjektif, tidak memiliki makna yang absolut. Yang kamu lihat adalah apa yang
kamu ingin temukan kelak nanti di surga. Apa yang saya lihat adalah apa yang
saya inginkan. Namun cara menemukannya sama saja bagi siapa pun tanpa
terkecuali.”
Surga
erat kaitannya dengan kematian, masa berakhirnya nafas mortal manusia di bumi.
Oleh karena itu, saya balik bertanya: “kematian itu apa?”
Beliau
menjawab dengan gayanya yang sederhana, “Antrian untuk mendapatkan kehidupan.
Begitupun sebaliknya; hidup sendiri adalah antrian untuk memperoleh kematian.”
Tanpa terasa, bel tanda masuk mengingatkan
saya untuk segera bergegas ke kelas. Kami kembali ke tanggung jawab dan
kewajiban kami masing-masing; saya sebagai siswi dan beliau sebagai guru.
Layaknya orang lain, kami berbeda, namun kami juga mencari hal yang sama.
Tujuan manusia untuk hidup, dan tujuan manusia untuk mati, pada hakikatnya sama,
dan akan selalu demikian.
No comments:
Post a Comment