Beberapa saat setelah mereka diramal, gue membuka kapalan tangan dan meminta si bapak untuk meramal masa depan gue. Pasalnya, beberapa hari silam gue terus memikirkan kondisi di masa depan; gue masih bingung mau jadi apa nantinya. Sementara itu, waktu semakin dekat, dan gue harus segera memutuskan mau jadi apa dan tindakan apa yang harus diambil untuk mewujudkan cita-cita itu. Sebenarnya, dari dulu gue sudah dibimbing untuk menjadi seorang arsitek, suatu cita-cita yang tidak pernah bisa diraih oleh bokap. Di sisi lain, gue juga tertarik dengan karir yang berhubungan dengan merancang bangunan ini. Setiap kali melihat maket, gue selalu terbayang untuk membuat versi aslinya di masa depan. Namun, belakangan gue punya segudang hobi baru; memantau langit malam yang cerah, membaca buku-buku sains yang berisikan informasi mengenai alam semesta, iseng-iseng menulis naskah monolog atau puisi, membaca artikel mengenai psikologi, dan tentu saja, menggambar. Dari semua hobi itu gue memiliki banyak sekali cita-cita yang mungkin, dari sisi pandang manusia, mustahil untuk diwujudkan dalam waktu bersamaan.
Oke, kembali ke soal ramalan tadi. Si bapak hanya melihat garis tangan gue sebentar lalu tersenyum. "Kamu nggak perlu diramal," katanya. "Kamu sudah tahu mau jadi apa."
"Ah masa sih pak? Jujur saya bingung mau jadi apa. Cita-cita saya terlalu banyak."
"Raihlah semua cita-citamu itu. Kamu akan menjadi apa yang kamu mau."
Gue pun berpikir sejenak. Sastrawan kah? Arsitek kah? Seniman kah? Astronomer kah? Atau mungkin, semuanya.
Akhirnya gue iseng minta diramal mengenai jodoh. Dan jawabannya pun sama. "Cari saja, kamu pasti mendapatkan orang yang kamu mau."
"Berarti saya punya potensi untuk mendapatkan apa saja yang saya mau dong?"
"Nah, betul itu! Kamu terlahir dengan kondisi seperti itu."
"Tapi pak, apa ada maksud dibalik potensi yang saya punya ini?"
"Oh tentu saja! Kamu kan sudah diberikan 'gift' untuk meraih apa saja yang kamu mau, namun tanpa usaha apapun, gift itu akan menjadi sia-sia. Sekarang kamu hanya perlu membuktikan kepada orang-orang bahwa kamu bisa."
Tiba-tiba segala kebimbangan yang menekan batin selama ini hilang begitu saja. Senang rasanya untuk tahu bahwa gue punya kemampuan untuk meraih semua yang gue mau. Kalau dipikir sih, sebenarnya kemampuan ini memang sudah terasa dari dulu, hanya saja gue nggak sadar bahwa gue punya kemampuan ini. Ketika gue memiliki keinginan untuk mempelajari suatu lagu yang sangat gue sukai lewat piano, gue dapat dengan mudah mempelajarinya dan menguasainya. Ketika gue memiliki keinginan untuk menguasai materi math yang dianggap susah, gue dapat mempelajarinya dengan mudah. Dan setiap kali gue menginginkan sesuatu, gue pasti mendapatkannya baik dalam waktu dekat maupun jangka waktu yang cukup lama.
Jadi, semua cita-cita itu bisa gue raih, selama gue mempunyai keinginan yang kuat untuk mewujudkan semuanya, dan tentu saja, selama gue nggak percaya dengan yang namanya 'limits'. Waktu itu gue pernah berkata bahwa sebenarnya manusia itu tidak memiliki keterbatasan karena kita ini diciptakan serupa dengan Tuhan, sayangnya karena mind-set manusia yang masih labil, pernyataan ini tidak terwujud. Dan gue baru sadar sekarang, selama ini gue menganggap bahwa mewujudkan puluhan cita-cita yang gue miliki itu mustahil, dan inilah yang menjadi faktor kebimbangan gue. Sekarang gue hanya perlu mengubah mind-set gue. Gue harus mulai berpikir bahwa tidak ada yang mustahil, bahwa gue bisa menjadi apa saja yang gue mau selama gue berusaha.
Di sisi lain, si bapak seakan mengerti kondisi yang sedang gue alami saat ini. Belakangan gue merasa dikucilkan karena nilai gue nggak sebagus nilai anak-anak IPA lain. Ya mungkin mereka tidak bermaksud mengucilkan juga, gue nggak berhak menyalahkan mereka; mungkin ini hanya perasaan gue saja. Jujur, sebenarnya gue mengerti pelajaran yang diajarkan (sayangnya hal ini tidak berlaku untuk pelajaran kimia -.-), tapi gue sedang mencoba untuk pura-pura bego, malas, dan tidak peduli nilai. Gue merasa sistem 'score' yang berlaku di sekolah itu tidak penting. Sebenarnya memang penting sih, untuk mengukur seberapa jauh kita mengerti materi yang diajarkan. Hanya saja, belakangan nilai seakan menjadi titik ukur kepintaran seseorang. Siapa yang mendapat nilai jelek, dianggap bodoh, padahal dia sama sekali tidak bodoh. Realitanya, orang bodoh itu tidak ada. Mungkin saja orang ini masih belum paham sepenuhnya dengan materi yang diajarkan di sekolah dan perlu bimbingan lebih lanjut. Namun, ketika seseorang mendapatkan nilai yang jelek, beberapa guru berkata "kenapa kamu dapat jelek?" ketimbang "yang mana yang masih belum kamu pahami?" Tentu saja makna dari kedua pertanyaan ini berbeda. Yang gue kehendaki dari para guru adalah pertanyaan yang kedua. Dan belakangan, gue merasa diperlakukan sebagai salah satu orang yang kurang berprestasi di sekolah. Dan gue merasa, beberapa orang meremehkan kemampuan akademis maupun spiritual gue. Nah, at some point sebenarnya sih memang bukan sekedar perasaan, namun realita. Beberapa orang ternyata senang membicarakan gue karena segala 'keanehan' yang gue alami. Lalu, gue bukan anak yang cantik dan eksis maupun populer. Gue bukan tipe orang yang seperti itu. Dalam suatu kerja kelompok, gue tidak terlalu terlibat karena dianggap kurang mengerti topik yang harus didiskusikan (sekali lagi, gue nggak bermaksud menjelek-jelekkan orang-orang ini ya). Karena beberapa faktor inilah, gue merasa dikucilkan.
Gue nggak suka dikucilkan. Yang ada di benak gue sekarang adalah menjadi seseorang yang sukses kedepannya, menjadi seseorang yang tak terduga oleh orang lain. Selama ini kan, (mungkin) gue dianggap kurang pintar. Dan gue ingin membuktikan bahwa itu tidak benar; bahwa dengan keadaan kurang berprestasi ini bukan berarti gue akan memiliki masa depan yang suram. Secara tidak langsung, si bapak seakan ingin menyampaikan pesan tersembunyi ini lewat statement beliau yang tadi.
Jadi, inilah kesimpulan dari pernyataan si bapak untuk gue:
No comments:
Post a Comment