Sudah saatnya saya mengaku pada diri sendiri bahwa saya juga makhluk emosional yang bisa tersakiti dan bisa menjadi rapuh. Selama ini saya terus berbohong pada diri sendiri, bahwa kondisi yang saya alami bersifat sementara dan saya akan membaik dengan sendirinya. Ternyata yang saya pikirkan selama ini hanyalah kebohongan belaka dan masalahnya justru semakin menjadi. Di sini saya tidak bermaksud mengindahkan dan me-romantis-kan masalah psikis, tapi sudah saatnya kita menghilangkan stigma "kontroversial" yang melekat dengan begitu erat pada topik-topik terkait gangguan mental.
Bila dilihat dari segi finansial, saya bukan orang yang berada tapi serba berkecukupan. Saya tidak pernah mengalami bagaimana rasanya tidur dalam kondisi kelaparan atau tanpa ranjang, jadi kurang adil rasanya bila saya menuduh kondisi finansial sebagai faktor dari masalah psikis yang saya alami. Tapi, masa kecil saya dilewati tanpa dukungan emosional. Selama bertahun-tahun lamanya saya disakiti tanpa tahu harus berlindung pada siapa. Saya disiksa oleh orang berengsek tidak tahu terima kasih yang tengah menumpang di rumah, di sekolah saya dibully habis2an dan tidak memiliki teman. Saya pernah diancam diusir. Saya pernah nyaris kabur dari rumah. Terdengar klasik memang, tapi dampaknya bertahan selama bertahun-tahun sekalipun hidup terasa jauh membaik dari sebelumnya. Pengalaman kelam itu membuat saya harus mengalami berbagai episode dimana saya benar-benar terjatuh dan frustrasi dan lelah akan semuanya.
Saya rasa cukup manusiawi untuk tidak memaafkan orang yang telah mengubah hidup saya menjadi mimpi buruk selama 10 tahun lamanya. Maaf, saya bukan Yesus yang Maha Pengampun. Dalam kehidupan ini, saya bukan protagonis yang suci bak peri seperti yang digambarkan berbagai kisah fiksi. Jika saya tersakiti, saya tidak akan segan untuk menyerang balik. Saya menyesal tidak memegang prinsip ini pada masa-masa itu karena memang saya masih terlalu kecil untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi. Percuma juga diceramahi dengan berbagai kutipan ayat suci, saya sudah nggak percaya dengan yang begituan. Pencarian spiritual seperti itu justru membuat saya semakin terpuruk dan depresi.
Saya masih menyimpan dendam dan luka yang mendalam yang berujung pada kerusakan sirkuit otak saya. Ah, ternyata waktu tidak bisa menyembuhkan luka batin. Alih-alih merasa membaik, saya malah merasa semakin terluka dan marah atas apa yang terjadi. Saya melampiaskan rasa sakit itu dengan menyakiti dan membenci diri sendiri dengan sangat mendalam. Saya pernah membiarkan diri saya kelaparan hingga rasanya seperti ada yang merobek perut saya. Saya pernah mencoba mengonsumsi obat secara berlebihan. Jauh lebih baik rasanya menanggung rasa sakit fisik ketimbang psikis. Pernah juga saya melampiaskan amarah dan emosi saya yang terpendam dengan membanting dan merusak barang-barang dalam jangkauan. Saya menjauh dari kawan-kawan yang peduli dengan setulusnya dan mungkin telah menyakiti perasaan mereka juga secara tidak sengaja. Bagi mereka yang tidak tahu bagaimana rasanya terjatuh dan tejebak dalam lingkaran setan ini, mungkin hal ini terdengar konyol dan berlebihan. Tapi percayalah, dalam kondisi seperti ini, sungguh sulit rasanya untuk berpikir secara rasional.
Silahkan anggap postingan ini sebagai bentuk untuk "mencari perhatian". Ya mungkin memang itu yang saya lakukan. Seharusnya kita ingat bahwa ada banyak nyawa yang tidak terselamatkan karena dianggap "attention-seeking". Sepertinya dalam era persaingan global yang semakin sengit, kita semakin melupakan jati diri kita yang sebenarnya, bahwa kita adalah makhluk emosional dan sosial yang sepatutnya bisa saling membantu dan membangkitkan.
No comments:
Post a Comment