Saya mau cerita sedikit tentang apa yang terjadi pada saya beberapa minggu belakangan ini. Do bear in mind that this post will be rather somber, so if you don't want to end your day with a bad mood, you might as well get out of this page.
Saya sadar betul sejak lama kalau saya memang cenderung mengalami depresi. Karena dari sekian tahun yang lalu memang sudah punya kecenderungan itu. Tapi saya nggak nyangka makin ke sini malah makin parah. Apalagi di masa-masa genting kayak gini; di saat saya justru harus kuat mental dan fisik menghadapi masa-masa tahun terakhir di perkuliahan dan dunia pekerjaan setelahnya.
Sudah pada nonton 13 Reasons Why? Saya sih sudah. Lalu saya lihat reaksi-reaksi yang beredar di internet. Banyak yang bilang Hannah Baker itu bodoh. Banyak yang menyalahkan si Hannah. Tapi, meskipun hidup saya nggak setragis dia dan thank God saya masih punya teman-teman dan saudara yang luar biasa suportif, saya tahu persis apa yang dia alami. Karena, meskipun sekali lagi hidup saya tidak setragis Hannah, saya pun pernah jadi korban bullying. Di rumah pun sama aja, bukannya membaik malah memperparah keadaan. Kemudian, tahun-tahun berlalu. And here I am at my last year in college.
Meskipun sentimen dengan kampus saya saat ini, puji syukur saya ketemu teman-teman yang suportif dan juga dosen-dosen yang pengertian. Sampai sejauh ini pun kuliah adalah masa-masa yang paling indah buat saya (kecuali tahun terakhir. Fuck that shit). Kalau boleh memutar waktu, rasanya pengen kembali ke tahun awal perkuliahan dan kembali menjadi remaja ngehe yang belum menanggung beban kehidupan. Karena pada saat itu saya masih dikelilingi oleh teman-teman saya dan trauma masa lalu yang tertimbun lama dalam benak belum muncul kembali ke permukaan.
Belakangan, mau nggak mau saya harus berhadapan kembali sama memori traumatis yang menjadi mimpi buruk saya semasa kecil. Itu, ditambah berbagai masalah lainnya seperti kendala-kendala pelaksanaan tugas akhir yang bikin saya harus jambak rambut berkali-kali, kehidupan dalam rumah, masalah fisik, dan lain sebagainya. Rasanya bagaikan ada banyak peluru yang mengelilingi kepala saya saat ini. Terus gimana? Ya, saya mental breakdown. Se down-downnya. Dan yang memperparah keadaan, saya tengah hidup sendirian di kota. Mau tak mau harus bisa mengandalkan diri sendiri. Tapi diri sendiri aja lagi lemah lunglai begini, piye??
Ah nggak enak banget lah rasanya. I wouldn't wish this to anybody. Saya tidur dan bangun dengan rasa cemas yang makin hari makin memuncak. Otomatis kebangun-bangun dengan berbagai pemikirian dan kekhawatiran. Lalu saya paksain diri datang ke kantor tempat saya menjalani penelitian tugas akhir. Karena nggak bisa kerja maksimal, hasilnya jelek. Hasil jelek, boss kecewa. Boss kecewa, tugas akhir saya terhambat dan keluarga pun turut kecewa. Ini sekali lagi, ditambah dengan masalah-masalah lain seperti trauma masa lalu, masalah dalam rumah, dan juga masalah fisik. Rasanya kayak lagi buka lemari dan semua isinya langsung jatuh berhamburan menimpa saya. Saya mau ngomong ke orang lain juga, mereka sudah punya kesibukan masing-masing. Saya bukan tipe yang suka ngerepotin orang lain.
Lama-lama, saya jadi mati rasa. Nggak ada hasrat buat menjalani kehidupan. Bangun dari tempat tidur dan keluar kamar kos aja susah setengah mati. Terus saya jadi benci diri sendiri. Makin lama makin parah. Dan karena kebencian itu, saya mulai melukai diri sendiri. Dari yang nggak mau makan meskipun kelaparan, sekarang jadi main iris-irisan. Anehnya, melukai diri sendiri membuat saya merasa membaik. Lama-kelamaan jadi ketagihan. Seakan ada rasa ketenangan setiap kali darah mengucur keluar. Sekarang tangan kanan saya penuh bekas luka.
Biarkan saya membuat suatu pengakuan di sini. Kalau kalian melihat InstaStory saya belakangan, tissue berlumuran darah itu memang bekas sayatan. Bukan karena mimisan, bukan karena jatuh.
Saya sih, nggak mau hidup saya berakhir kayak Hannah Baker. Tapi saya ingin orang lain mengerti, bahwa bagi kami yang depresi berat, we have no choice but to take it all out on ourselves. Sehingga berujung menjadi self-harm. Saya melakukan ini bukan karena haus perhatian, tapi karena memang saya sudah berada di ujung tanduk dan nggak punya pelampiasan lain. And guess what? It works, at least for me. Bukan berarti saya menyetujui tindakan self-harm ya. If you have this tendency, please seek help as soon as possible. Selagi ada orang yang bisa kamu ajak bicara. Saya memang nggak punya pilihan lain selain berdiri dengan kaki sendiri untuk saat ini, ya mudah-mudahan aja kuat sampai akhir. Mungkinkah ini yang dinamakan quarter life crisis? Akankah ini berakhir? Who knows. Kita lihat saja apa yang akan terjadi di masa mendatang.