Hai, blogku yang tercinta! Lama tak bersua, karena memang minggu lalu kami disibukan dengan kegiatan-kegiatan kampus yaitu Ospek. Sebenarnya ada beberapa kisah menarik yang saya petik dari pengalaman sekali seumur hidup ini... Tapi untuk sekarang, mungkin kisah yang ini dulu yang saya prioritaskan. Mengapa? Karena pengalaman itu telah membuka wawasan saya yang ternyata... masih dangkal.
Berhubung kami adalah angkatan pertama, rektor universitas kami mengundang marinir untuk membina kami selama Ospek. Walaupun para admin telah meyakinkan kami berkali-kali bahwa tidak akan ada kekerasan fisik selama Ospek, sebenarnya saya tetap merasa khawatir. Saya punya kenangan yang tidak menyenangkan tentang TNI, dan secara tidak langsung, kenangan ini membuat saya membangun prasangka buruk terhadap mereka.
Singkat cerita, kompi kami kebagian marinir yang galak. Selama kegiatan Ospek, kami disengat oleh sinar matahari yang tak kenal ampun, disuruh tiarap di atas aspal yang masih becek karena hujan malam, kami harus menerima bentakan demi bentakan dan sindiran demi sindiran, dan kami harus mematuhi berbagai peraturan dan 'ritual', seberapa anehnya peraturan itu. Hari demi hari rasa kurang suka saya terhadap mereka makin menguat, apalagi ketika saya dibentak oleh seorang pelatih secara pribadi, dua hari berturut-turut. Puncak rasa tidak suka saya muncul pada saat kompi kami harus tiarap di depan kompi-kompi lain karena alasan yang tidak saya ketahui, dengan baju formal. Karena saya memiliki pride yang tinggi, saya tidak pernah suka dipermalukan di depan orang lain.
Tibalah hari kelima, kuliah perdana. Dengan rasa kantuk yang sangat amat dan suasana pagi buta yang masih gelap, kami pun berangkat. Saat tiba pun baru secercah cahaya matahari yang muncul. Kami berbaris di lapangan sambil menunggu izin untuk masuk ke gedung. Karena masih lama, kami diperbolehkan untuk bersantai-santai dan seorang marinir yang juga seorang pelatih dari pleton kami menyempatkan diri untuk turut berbincang-bincang. Hati saya yang sempat mengeras akhirnya melunak sedikit demi sedikit, dan atas rasa bosan akibat terlalu lama menunggu, saya membangun keberanian untuk menanyakan beberapa hal sepele kepada pelatih.
Ini dia puncak dari pengalaman saya bersama para marinir. Saat pulang, ternyata pelatih tadilah yang ikut pulang bersama bus milik pleton kami. Beliau bercerita bahwa dirinya harus berangkat tengah malam menuju kampus kami dari Cilandak. Saat pulang pun beliau bersama rekan-rekannya harus berhadapan dengan macet yang tipikal, sehingga mereka akan tiba tengah malam. Ternyata rasa lelah kami tak sebanding!
Lalu, ketika salah seorang dari kami bertanya kepada beliau mengenai pilihannya untuk menjadi marinir (meskipun dibayar dengan upah yang menurut kami tak sebanding), beliau menjawab dengan sederhana:
"Kalau semua orang berpikiran seperti kamu, siapa yang melindungi negara?"
Dari situlah saya sadar bahwa tidak semua TNI itu bersikap seenaknya. Saya membuka diri dan menceritakan kenangan saya tentang TNI yang kurang menyenangkan, di daerah yang saya rasa tak perlu saya sebutkan, seraya mengajukan harapan bahwa suatu saat nanti Pelatih bisa memperbaiki sikap mereka terhadap masyarakat. Beliau tersenyum, dan berkata:
"Saya harus bertugas di daerah lain. Mungkin suatu saat nanti, sebagai pemimpin bangsa, kamu yang bisa membina mereka."
Di tengah perjalanan, beliau menyampaikan pesan dan nasihatnya kepada kami, calon pemimpin bangsa, dan di antara nasihat-nasihat itu, saya merasa tergugah oleh pesan beliau yang satu ini:
"Saat ini kalian yang patuh dan hormat kepada saya, pelatih kalian. Tapi suatu saat nanti, sayalah yang patuh dan hormat kepada kalian."
Siap, Pelatih!