Setelah sekian lama dapet ide buat nulis akhirnya gue dapet kesempatan buat menuangkan ide itu ke dalam untaian kalimat *eaaa. Dan seperti biasa, masalah gue sekarang adalah menemukan judul yang tepat. Judul yang sekarang mungkin *bukan mungkin sih, pasti tepatnya* terdengar aneh secara gue asal bikin, tapi ntar kalo nemu yang lebih bagus gue ganti :D Enjoy!
Sunyi.
Hanya itu yang kurasakan. Aku tak tahu apakah kesendirian ini merupakan
kebutuhan atau keinginanku sendiri. Aku berada jauh dari jiwa dan raga lain. Hanya ada kehampaan dalam genggamanku. Diriku tak lagi mengenal perdebatan dan konflik. Ya, aku tahu. Tak seharusnya
aku berada disini. Namun aku merasa aman, nyaman.
Kini
yang melayang di benakku hanyalah rumah. Tempat dimana seharusnya aku menjalani
hidup. Tempat dimana seharusnya aku menuai mimpi dan harapan.
Tunggu…
harapan? Aku bahkan tak ingat kapan terakhir aku memilikinya. Yang aku ingat
hanyalah pukulan dan tuntutan. Ya, hidup itu keras. Manusia menaruh begitu
banyak harapan kepada sesamanya, tetapi kebanyakan dari mereka tak pernah
sempat menuai harapan sendiri. Waktu telah bergulir, tetapi aku tak pernah
menuai harapanku. Tak pernah sempat.
Itulah
alasan akan keberadaanku di sini. Lelah rasanya hidup dalam kebersamaan.
Percuma rasanya bagi sebatang bunga untuk tumbuh di ladang gandum. Mereka hanya
mengingini gandum. Bunga itu akan dipotong, dianggap sebagai pengganggu.
Dianggap tak berguna.
Kini
aku berada dalam kehampaan yang terasa aman dan nyaman. Aku bebas. Ya, aku
bebas.
“Sedang
apa kamu?” Terdengar sebuah suara dari dekat. Aku menoleh. Hanya ada kegelapan
semata.
“Aku?
Aku sedang menjalani hidup.” Jawabku.
“Bagaimana
kamu bisa hidup jika hanya dalam hidupmu hanya ada kamu seorang? Hidup akan
bersemi jika kamu menanamkannya di dalam sekelompok individu lain. Hidup akan
berjalan jika kamu menghidup udara yang juga dihirup orang lain.”
“Ya,
dan kemudian aku akan disingkirkan. Aku dianggap sebagai parasit. Ibarat sebuah
lukisan, aku adalah suatu kesalahan yang dianggap mengganggu.”
“Bagaimana
kamu bisa tahu kamu adalah suatu kesalahan? Bukannya semuanya itu merupakan
kesalahan yang dikumpulkan agar menjadi sesuatu yang indah? Untuk menjadi suatu
berkat dan karunia?”
“Lihatlah
ini!” Aku menunjuk ke arah depan. Suatu gambar pun muncul dalam kesamaran.
“Merah yang mereka kenakan. Merah yang mereka butuhkan. Merah megah yang mereka
inginkan. Dan aku? Aku tak punya merah. Aku lebih tak punya lagi merah megah.
Aku memiliki biru, tapi mereka tak mengkehendakinya. Aku menerima
tatapan-tatapan dengki sebagai hadiah.”
“Merah
yang mereka butuhkan, merah megah yang mereka ingini. Tetapi mereka lupa, merah
tak akan memiliki arti tanpa biru.”
“Lalu mengapa mereka menyingkirkanku?”
Kukepalkan tanganku. Amarah menyelimutiku.
“Sebab
mereka tak bisa menggali. Mereka hanya tahu cara menggunakan mata mereka.
Mereka lupa bahwa mereka punya tangan untuk menggali. Selama ini mereka hanya melihat
hamparan bunga, akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dibawah sana ada berlian.
Yang selama ini mereka anggap sebagai batu-batu tak berguna, adalah berlian.
“Dan
kau, kau adalah berlian itu. Bukalah kuburmu. Temukanlah cahaya. Hadapilah
udara yang panas itu. Pancarkan sinarmu. Mereka akan melihatmu. Dan kemudian,
mereka akan menggali. Mereka akan menemukanmu dan berlian-berlian lainnya.”
Aku
menghela napas dan memejamkan mata. Suara itu terdiam lama, dan kemudan
terbenam oleh suara-suara lain. Terdengar potongan-potongan pembicaraan dari
kejauhan. Terdengar suara hentakan kaki. Terdengar tawa dan tangisan. Kubuka
mataku kembali.
Aku membisikkan
pesanku pada sang mentari di atasku, “Aku pulang.”